Firda Wahyu Ningtiyas dengan Hasil Tenun Pertama
Batu Alang, (20/12/2017)
Jambore Pemuda Indonesia (JPI) merupakan event rutin yang diselenggarakan oleh Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Republik Indonesia tiap tahunnya di berbagai provinsi. Pada tahun 2017, Kota Sawahlunto Provinsi Sumatera Barat dipercayakan sebagai tuan rumah. Berbeda dari JPI sebelumnya, tahun ini Kemenpora bekerjasama dengan Dinas Koperasi, Industri, dan Perdagangan (Diskoperindag) Kota Sawahlunto mengagendakan Pelatihan Tenun Songket Silungkang sebagai rangkaian dari kegiatan JPI 2017. Masing-masing provinsi di tanah air mengutus 1 orang pemuda, baik putra maupun putri, untuk menjadi perwakilan pelatihan yang nantinya akan meneruskan pengetahuan tenun kepada para pemuda di daerahnya.
Walikota Sawahlunto, Ali Yusuf, S.Pt, pada acara pembukaan Pelatihan Tenun Songket SIlungkang menjelaskan bahwa kegiatan ini dihadirkan sebagai upaya memperluas promosi Songket Silungkang ke seluruh nusantara sekaligus membekali pemuda dengan keterampilan yang bisa dimanfaatkan untuk memberdayakan masyarakat, serta membuka lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran di daerahnya masing-masing. Pelatihan keterampilan tersebut guna membekali kalangan pemuda Indonesia salah satunya dengan wawasan sekaligus life skill tentang keterampilan tenun Silungkang. Diharapkan, akan tumbuh kecintaan terhadap Songket sehingga cita-cita menjadikan Songket sebagai pakaian nasional ke 2 setelah batik, mendapat dukungan dari kabupaten dan Kota lain di Nusantara.
Firda Wahyu Ningtiyas, Mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) semester 7 Universitas Teknologi Sumbawa diutus oleh Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai perwakilan pada Pelatihan Tenun Songket Silungkang tersebut. Gadis berusia 20 tahun tersebut tiba di Padang pada 31 Oktober 2017 dan berangkat menuju Kota Sawahlunto pada 1 November 2017 bersama 30 pemuda perwakilan dari berbagai provinsi di Indonesia. Dida, sapaan akrabnya, mengikuti pelatihan tenun selama 14 hari di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kota Sawahlunto, Sumatera Barat dan dilanjutkan dengan kegiatan JPI pada 15–21 November 2017 di Arena Camping Ground (ACG) Kandih, Kota Sawahlunto.
Materi tenun Songket Silungkang disampaikan oleh Anita Dona (30 tahun), penenun asal Kota Sawahlunto yang telah menorehkan prestasi dalam bidang tenunnya hingga ke Brussel, Belgia. Selama 2 minggu, para peserta diperkenalkan dengan alat tenun Silungkang yang disebut Palantai, mulai dari perkenalan komponen alat tenu dan jenis benang. Selanjutnya, Dida dan ke-30 pemuda lainnya diajarkan teknik dasar menenun ala Silungkang, menyambung benang, dan menghitung benang sebelum menciptakan motif. Dida mengungkapkan bahwa alat tenun Silungkang berbeda dengan alat tenun yang digunakan masyarakat NTB. Namun demikian, sistem kerjanya masih terdapat kesamaan dan motif tenun yang dihasilkan pun memiliki kemiripan. Pelakunya pun berbeda. Di NTB, tenun lazim dilakukan oleh kaum perempuan di atas 45 tahun. Namun di Kota Sawahlunto, generasi muda baik perempuan bahkan laki-laki mulai dari usia 23 tahun sudah mampu menciptakan tenun songket yang bernilai jual paling rendah Rp 350.000.
Di akhir kegiatan pelatihan, para peserta mampu menciptakan selembar kain Songket Silungkang dengan panjang 2 meter dan lebar 1 meter sebagai bahan pembuatan pakaian. Dida mengungkapkan bahwa dalam menenun, kesabaran adalah yang utama. Keseriusan, fokus dan ketenangan pikiran adalah faktor-faktor pendukungnya. Dida berharap dapat meneruskan pengetahuan menenun songketnya kepada generasi muda di wilayah NTB agar warisan dan aset budaya tersebut tetap terjaga kelestariannya, dan juga dapat menjadi modal dalam menghadapi bonus demografi di tahun mendatang.
Firda Wahyu Ningtiyas
Ilmu Komunikasi, Universitas Teknologi Sumbawa