Penulis: Chairul Anam Afgani, S.TP., M.P Dosen Prodi Teknologi Hasil Pertanian FATETA UTS
Indonesia merupakan negara maritim dimana dua per tiga wilayahnya adalah lautan. Sumberdaya perikanan yang hidup di wilayah perairan Indonesia dinilai memiliki tingkat keragaman hayati (bio-diversity) paling tinggi yaitu mencapai 37% dari spesies ikan di dunia (Direktorat Jendral Perikanan, 1996). Di wilayah perairan laut Indonesia khususnya di NTB terdapat beberapa jenis ikan yang diketahui bernilai ekonomis tinggi antara lain: tuna, cakalang, udang, tongkol, tenggiri, kakap, ikan-ikan karang (kerapu, baronang, udang barong/lobster), ikan hias, rumput laut dan cumi-cumi.
Cumi-cumi merupakan salah satu primadona tangkapan nelayan di perairan Selat Alas Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Potensi perikanan tangkap di Lombok Timur mencapai 12.691,5 ton. Pada tiap tahun nilai produksi perikanan tangkap mengalami kenaikan dengan jumlah produksi cumi-cumi mencapai 638,40 ton/tahun menurut Dinas Kelautan dan Perikanan NTB. 90% tangkapan cumi-cumi di Selat Alas terdiri dari 5 spesies yaitu cumi-cumihiara (Loligo edulis), cumi-cumi jarum (Uroteuthis bartschi), cumi lamun (Sepioteulhis), cumi-cumi Leak (Nototodarus sloani) dan cumi-cumi jamak (Loligo duvauceli) (Ghofar, 2005). Data tersebut menunjukkan bahwa NTB merupakan salah satu daerah potensial penghasil cumi-cumi yang cukup tinggi, sehingga jika produksi cumi-cumi tinggi maka para nelayan atau pedagang biasanya melakukan pengeringan.
Secara umum teknik pengeringan cumi-cumi yang dilakukan oleh para nelayan adalah pengeringan tradisional dengan memanfaatkan sinar matahari yang bertujuan untuk menurunkan kadar air cumi-cumi. Namun kelemahan metode pengeringan ini yaitu hasil atau tingkat kekeringan bahan bergantung pada cuaca pada saat proses pengeringan sehingga produk cumi yang dihasilkan memiliki kualitas rendah dan mudah ditumbuhi oleh jamur.
Pertumbuhan jamur pada produk cumi-cumi kering olahan tradisional dapat dikendalikan dengan cara memperbaiki proses pengolahan pangan serta dengan penggunaan pengawet. Pengawet makanan digolongkan menjadi dua jenis yaitu pengawet sintetis dan pengawet alami.Pengawet sintetik merupakan hasil sintesis secara kimia yang mempunyai sifat lebih stabil, lebih pekat dan penggunaannya lebih sedikit.Kelemahan pengawet sintetis adalah efek samping yang ditimbulkan.Pengawet sintetis dipercaya bisa menimbulkan efek negatif bagi kesehatan, seperti memicu pertumbuhan sel kanker akibat senyawa karsinogenik dalam pengawet. Dan yang kedua pengawet alami yang bisa diperoleh dari bahan makanan segar seperti bawang putih, gula, garam, asam dan asap cair.
Asap cair merupakan salah satu pengawet hasil pirolisis yang memiliki sifat fungsional sebagai antioksidan, antibakteri dan pembentuk warna serta citarasa yang khas.Kombinasi antara komponen fungsional fenol dan asam-asam organik yang bekerja secara sinergis dapat mencegah dan mengontrol pertumbuhan. Asap cair diketahui telah diaplikasikan sebagai pengawet pada berbagai produk hasil olahan seperti daging, namun untuk produk hasil perikanan penggunaan asap cair masih sangat terbatas. Penggunaan asap cair dilaporkan dapat meningkatkan masa simpan steak cakalang hingga 6 hari penyimpanan pada suhu kamar dan beberapa penelitian menyatakan bahwa perendaman ikan bilih pada konsentrasi asap cair 5% selama 2 jam menghasilkan produk ikan dengan warna, rasa dan bau yang sangat disukai dan dan asap cair dapat diaplikasikan pada pembuatan belut asap dengan konsentrasi asap cair 30% dan lama pengeringan 8 jam menghasilkan produk belut asap yang tidak mengandung PAH (Poliaromatik hidrokarbon) dan aman dikonsumsi. Penggunaan asap cair untuk hasil perikanan seperti cumi-cumi belum pernah dilakukan. Hasil uji pendahuluan dengan menggunakan pengawet asap cair sebesar 2,5% menghasilkan cumi kering dari segi warna menarik (cerah), selama penjemuran tidak dihinggapi lalat, dan memiliki daya simpan yang cukup lama.