Oleh: Nur Hadi Ihwani, M.A
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi, UTS
Sejarah peradaban umat manusia sangat erat kaitannya dengan bahasa visual. Awalnya, manusia menggunakan bahasa visual untuk menceritakan karakteristik dan sejarah alam atau menceritakan perubahan masyarakat, budaya, bahkan tentang dirinya. Kemudian peradaban berkembang, manusia memiliki ide yang lebih rumit, lalu terciptalah bahasa literal yang terstruktur sebagai alat untuk berkomunikasi.Dalam berkomunikasi, manusia tidak hanya menggunakan bahasa verbal tetapi juga menggunakan gambar dan huruf sebagai media untuk menyampaikan pesan, bercerita, atau mengungkapkan pikiran dan perasaan dari seseorang kepada orang lain atau dari satu kelompok kepada kelompok lainnya.
Ada frasa yang mengatakan bahwa; Sebuah gambarberbicara lebih banyak dari seribu kata. Atau seperti dalam peri bahasa Thailand; Sepuluh mulut tidak bisa mengalahkan sepuluh mata. Artinya, hal yang menjadi penekanan adalahbetapa pentingnya komunikasi visual.Hasil dari banyak penelitian tentang persepsi sifat manusia juga menemukan bahwa manusia belajar melalui penglihatan sebesar 75%, pendengaran sebesar 13%, sentuhan sebesar 6%, penciuman sebesar 3%, dan pengecapan sebesar 3%. Dalam hal ingatan, ditemukan bahwa manusia bisa lebih mudah mengenali atau mengingat apa yang telah mereka lihat sebesar 40% dan hanya 20% untuk apa yang telah mereka dengar. (Saowanee Sikkabundith, 1985: 34).
Dalam dunia media, penglihatan menjadi indera yang paling penting untuk menerima informasi. Berkat indera penglihatan seseorang, sebuah pesan dapat secara sadar atau bahkan secara tidak sadar memberi stimulan yang mengakses otak seseorang dalam waktu yang sangat singkat. Yang darinya, persepsi lalu terbentuk. Persepsi kemudian memberi pengaruh pada pembentukan pendapat dan argumentasi seseorang.Istilah komunikasi visual dalam pengertian tradisionalnya mencakup melukis, memahat, desain, serta arsitektur.
Dan selama bertahun-tahun, komunikasi visual terus meluas ke dalam berbagai macam bentuk ekspresi. Bentuk-bentuk tersebut adalah ilustrasi, desain grafis, poster, desain web, tipografi, mural atau seni jalanan, dan semua bentuk lain yang telah mentransmisikan pesan visual kepada audiens. Komunikasi visual merupakan bagian integral dari keberadaan manusia sejak awal. Hal itu juga menjelaskan fakta bahwa manusia secara sadar ataupun tidak, mengonsumsi banyak pesan visual setiap harinya. Oleh karena itu, mural atau seni jalanan sebagai salah satu turunan bentuk dari komunikasi visual, adalah media yang ideal untuk menyebarluaskan pesan kepada publik.
Kemajuan teknologi komunikasi visual memainkan peran utama dalam proses mengirim dan membagi informasi. Di dunia yang serba digital dankebutuhan distribusi informasi dengan kecepatan tinggi, menuntut alat yang super canggih dan efektif untuk kemudahan pesan itu tiba pada audiens dan memberikan pengaruh. Namun, tidak semua orang dapat berpartisipasi dalam membuat dan mengakses konten media. Belum lagi isu konglomerasi dan relasi kuasa yang mengepung iklim media massa, menciptakan keterkungkungan pada kualitas isi media. Itu sebabnya, alih-alih hanya menjadi penonton pasif, beberapa orang akhirnya mencaricara alternatif untuk membuat suara mereka didengar. Salah satunya adalah mural atau seni jalanan dengan memanfaatkan ruang publik sebagai platform gratis untuk menyebarkan suara dan berbagi pesan.
Mural atau seni jalanan bukanlah cara modern untuk berekspresi dan berkomunikasi. Penggunaannya telah dimulai sejak berabad-abad yang lalu. Menggores, memahat, menulis, dan melukis di dinding adalah salah satu cara tertua manusia berkomunikasi danberekspresi. Goresan tertua di dunia, ditemukan di gua-gua Prancis dan Spanyol yang berasal dari Zaman Batu. Di Lascaux, misalnya, telah ditemukan lebih dari 1500 gambar dan 60 gambar berwarna yang terpahat di dinding-dinding gua. (Lalić, Leburić, Bulat, 1991: 18).Memasuki abad ke-20 mural atau seni jalanan mulai mencerminkan peristiwa politik dan memberi fokus pada situasi sosial. Dengan kata lain, mural telah bertransformasi menjadi bentuk visual yang memediasi opini publik sehingga memiliki kaitan yang erat dengan geliat politik serta bentuk-bentuk komunikasi publik.
Mural atau seni jalanan menunjukkan karakteristik media yang sangat penting. Terletak di jalan dan membuka ruang sebebas-bebasnya bagi publik untuk berkomentar, bereaksi, mengubah pesan atau memaknainya. Tujuan utamanya adalah menciptakan efek dan memancing umpan balik. Terlebih lagi karya seni yang ditempatkan di ruang terbuka tidak memiliki tanggal kedaluwarsa – tidak hanya karya seni yang dapat muncul dalam semalam, tetapi juga dapat menghilang di waktu yang sama, serta menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda. Itulah yang membuat seni jalanan berbeda dari media lain; rasa tak terbatasnya yang menawan.
Seniman jalanan lazimnya menempatkan ide, argumentasi, intervensi, dan pertunjukan mereka di ruang-ruang terbuka, dengan tujuan untuk membuka dialektika. Mereka mengambil jalan sebagai media alternatif, dan setiap karya seni baru di jalanan adalah sebuah informasi. Informasi tersebut membawa bentang pemaknaan yang luas, sehingga kedamaian seni yang ditempatkan di ruang publik selalu memicu hadirnyaperdebatan yang berkelanjutan. Namun yang lebih penting, seni jalanan adalah tentang menunjukkan tanda-tanda kehidupan, bahwa orang-orang masih hidup dan bahwa seseorang ada di sana pada waktu tertentu. (McGee, 1995: 69).
Seni jalanan juga dapat diakses oleh semua orang kapan saja dan di mana saja. Ia berdiri sebagai ruang kosong bagi siapapun yang ingin berbagi pemikiran kepada publik melalui sebuah karya seni visual. Sebuah karya jalanan bisa saja berisi kritik, komentar, manifestasi pandangan sosial, sebuah seruan individu maupun kolektif untuk pemberontakan sosial, atau bahkanberisi humor-humor satire. Singkatnya, ruang-ruang kota menyediakan platform tanpa batas, bebas biaya dan memiliki aksesibilitas yang tinggi. Kolaborasi seni jalanan dan kota sering disebut dengan istilah urban art.
Menilik relasinya di Indonesia, mural memiliki sejarah panjang sebagai alat untuk menyuarakan kritik sosial sejak masa revolusi 1945-1949. Bahkan setelah runtuhnya Orde Baru dan jaminan kebebasan berekspresi yang menyertainya, mural telah menjadi bentuk seni yang umum untuk menyuarakan pandangan publik, dan telah diterima sebagai sebuah bentuk ekspresi yang sah. Dapat dimaklumi jika mural perlu diperbaharui dari waktu ke waktu. Namun tiga mural yang akhir-akhir ini menuai kontroversi, merupakan ungkapan sah atas kritik terhadap pemerintah yang masih harus banyak menjawab persoalan dalam penanganan pandemi Covid-19. Tindakan represi terhadap pelaksanaan hak yang sah tidak bisa dibenarkan.
Tindakan represif aparat hanyalah indikasi lain dari kesehatan demokrasi Indonesia yang semakin menurun. Awal tahun ini, Indonesia turun ke posisi 64 dalam Indeks Demokrasi Economist Intelligence Unit (EIU) – posisi terendah selama 14 tahun. Masyarakat Indonesia juga mulai memperhatikan terhadap hal itu. Pada tahun 2020, sebuah survei oleh Indikator menemukan 36% responden merasa Indonesia menjadi kurang demokratis, 22% merasa putus asa untuk mengungkapkan pendapat mereka, dan 58% mengatakan aparat lebih keras terhadap orang-orang yang berbeda pandangan dengan pemerintah.
Bagi banyak orang, tindakan keras terhadap kritik publik telah membangkitkan kembali luka masa lalu. Selain itu juga bertentangan dengan perlindungan demokrasi dan hak asasi manusia yang dijamin dalam hukum Indonesia sejak tahun 1998. Perlindungan kebebasan berekspresi cukup komprehensif, dan ditemukan dalam Pasal 28E( 3) UUD 1945 yang diamandemen, Pasal 23(2) UU HAM (No. 39 Tahun 1999) dan juga Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi Indonesia dengan UU No. 12 Tahun 2005.
Presiden dan pejabat pemerintah sering membuat pernyataan yang mendukung kebebasan berekspresi dan berpendapat. Namun deretan pernyataan-pernytaan itu tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Contoh paling jelas adalah Presiden dan DPR tidak melakukan langkah konkrit untuk membenahi tindakan represif aparat.Jika pemerintah dan DPR benar-benar berkomitmen menjaga demokrasi Indonesia, seperti yang mereka katakan, maka mereka harus segera mencabut pasal-pasal represif dalam RKUHP dan UU ITE. Selanjutnya, pemerintah harus mulai berdiskusi tentang upaya reformasi hukum acara pidana dan membatasi kekuasaan aparat serta memberikan pengawasan yang efektif.
Mural akan terus diproduksi, merangkak dari dinding, mendekorasi tempat-tempat dan lorong-lorong gelap yang ditinggalkan, dan kritik akan terus mengalir. Satu-satunya pertanyaan adalah; bagaimana pemerintah menangani kritik ini. Akankah terus merespon dengan represi, atau akankah menegakkan prinsip-prinsip demokrasi seperti yang telah dikatakan dan tetap berkomitmen atas hal itu?.Rumput yang bergoyang, masih tidak membahasakan apa-apa.