Oleh: Chairul Anam Afgani, S.TP., M.P
(Prodi Teknologi Hasil Pertanian-FATETA UTS)
Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap produk tepung terigu sangat besar. Berdasarkan data dari Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) konsumsi tepung terigu pada tahun 2020 mencapai 4,9 juta ton di kuartal III 2020. Adanya potensi tersebut, Indonesia berupaya untuk mencari alternatif tepung terigu dengan produk tepung lokal, yang berasal dari bahan lainnya, seperti serealia (biji-bijian), legume (polong-polongan), dan umbi-umbian. Ketiga produk lokal tersebut memiliki potensi yang besar dalam diversifikasi produk pangan, termasuk sorgum.
Sorgum (Sorghum bicolor L.) adalah tanaman yang termasuk dari famili Gramineae (tumbuhan). Sorgum juga merupakan salah satu jenis serealia yang tahan terhadap kekeringan, sehingga dapat tumbuh dengan ketersediaan air yang sedikit. Hal ini sangat baik untuk dibudidaya sebagai bahan pangan. Pemanfaatan sorgum di Indonesia belum optimal. Selama ini sorgum hanya dijadikan sebagai pakan ternak, padahal sorgum sangat cocok dijadikan sebagai komoditas agroindustri di Indonesia, karena ketahanannya yang tinggi pada komoditi kering. Data dari Badan Pusat Statistik (2019-2020), jumlah produksi sorgum sekitar 4.000-6.000 ton/tahun yang tersebar di lima provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Budidaya Serealia pada tahun 2019, menunjukkan produksi tanaman sorgum di Indonesia 5 tahun terakhir hanya meningkat dari 6.114 ton menjadi 7.695 ton.
Selain itu, sorgum juga memiliki kandungan zat besi yang cukup tinggi dibandingkan dengan jenis serealia lainnya seperti, beras, singkong, dan gandum. Kandungan zat besi sorgum sebanyak 5,4 mg/100 g, lebih tinggi dibandingkan dengan zat besi dalam beras pecah kulit (1,8 mg/100 g) dan gandum (3,5 mg/100 g). Kandungan protein sorgum 10-11%, lebih tinggi dibandingkan dengan protein beras giling (6-7%), dan hanya sedikit di bawah gandum (12%). Sorgum memiliki kelebihan, antara lain rendah gluten (campuran amorf dari protein yang terkandung bersama pati), sebagai antioksidan, mencegah diabetes, mencegah penyakit jantung, dan mencegah kanker. Akan tetapi, sorgum juga memiliki kelemahan, yaitu kandungan zat tanin yang tinggi, sehingga jika diaplikasikan ke produk makanan akan menimbulkan rasa pahit dan sepat, serta menimbulkan warna gelap yang mengakibatkan kurangnya pemanfaatan sorgum.
Sorgum (Sorghum bicolor L.) adalah tanaman yang termasuk dari famili Gramineae (tumbuhan). Sorgum juga merupakan salah satu jenis serealia yang tahan terhadap kekeringan, sehingga dapat tumbuh dengan ketersediaan air yang sedikit. Hal ini sangat baik untuk dibudidaya sebagai bahan pangan. Pemanfaatan sorgum di Indonesia belum optimal. Selama ini sorgum hanya dijadikan sebagai pakan ternak, padahal sorgum sangat cocok dijadikan sebagai komoditas agroindustri di Indonesia, karena ketahanannya yang tinggi pada komoditi kering. Data dari Badan Pusat Statistik (2019-2020), jumlah produksi sorgum sekitar 4.000-6.000 ton/tahun yang tersebar di lima provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Budidaya Serealia pada tahun 2019, menunjukkan produksi tanaman sorgum di Indonesia 5 tahun terakhir hanya meningkat dari 6.114 ton menjadi 7.695 ton.
Selain itu, sorgum juga memiliki kandungan zat besi yang cukup tinggi dibandingkan dengan jenis serealia lainnya seperti, beras, singkong, dan gandum. Kandungan zat besi sorgum sebanyak 5,4 mg/100 g, lebih tinggi dibandingkan dengan zat besi dalam beras pecah kulit (1,8 mg/100 g) dan gandum (3,5 mg/100 g). Kandungan protein sorgum 10-11%, lebih tinggi dibandingkan dengan protein beras giling (6-7%), dan hanya sedikit di bawah gandum (12%). Sorgum memiliki kelebihan, antara lain rendah gluten (campuran amorf dari protein yang terkandung bersama pati), sebagai antioksidan, mencegah diabetes, mencegah penyakit jantung, dan mencegah kanker. Akan tetapi, sorgum juga memiliki kelemahan, yaitu kandungan zat tanin yang tinggi, sehingga jika diaplikasikan ke produk makanan akan menimbulkan rasa pahit dan sepat, serta menimbulkan warna gelap yang mengakibatkan kurangnya pemanfaatan sorgum.
Sorgum memiliki tekstur yang keras, sehingga dalam mengolahnya menjadi tepung diperlukan proses khusus. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pemanfaatan karena kandungan tanin yang ada di dalamnya. Salah satu jenis tepung olahan dari sorgum adalah tepung sorgum termodifikasi (Modified Shorgum Flour), proses pengolahan sorgum menjadi tepung termodifikasi adalah dengan cara perendaman dan penambahan ragi agar mudah digiling, serta mempermudah proses fermentasi. Fermentasi biji sorgum hingga menjadi tepung dapat memperbaiki sifat alami tepung dengan menggunakan kultur sederhana berupa ragi (mikroba). Tepung sorgum memiliki kandungan kadar air. Kadar air adalah suatu bahan yang penting untuk diketahui karena merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam standar mutu, pengawasan mutu, penanganan bahan, serta menentukan umur simpan tepung.
Berdasarkan penelitian Kinanti, dkk, (2014), Afgani dan Nuraini (2021) tentang kajian karakteristik fisik dan kimia tepung sorgum (Sorghum bicolor L.) varietas mandau termodifikasi yang dihasilkan dengan variasi konsentrasi dan lama perendaman asam laktat, yaitu pada peningkatan konsentrasi asam laktat tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar tanin tepung sorgum. Sedangkan, pada variasi lama perendaman berpengaruh nyata terhadap tepung sorgum. Penelitian menunujukkan pengaruh jenis ragi dan waktu fermentasi terhadap karakteristik fisik dan kimia tepung sorgum cokelat (Sorghum bicolor L.) dihasilkan bahwa jenis ragi berpengaruh nyata terhadap nilai viskositas dan pH tepung sorgum cokelat fermentasi. Sedangkan, lama waktu fermentasi berpengaruh nyata terhadap hasil rendemen, tanin, dan pH tepung sorgum cokelat fermentasi yang dihasilkan. Sementara interaksi antara jenis ragi dan lama waktu fermentasi berpengaruh nyata terhadap nilai tanin dan pH tepung sorgum cokelat fermentasi. Selain itu, penelitian tentang pengaruh penggunaan konsentrasi ragi dan lama waktu perendaman biji sorgum (Sorghum bicolor L.), menunjukkan bahwa penggunaan konsentrasi ragi dan lama waktu perendaman berpengaruh nyata terhadap warna, aroma, tingkat kecerahan (L*), kadar air dan nilai pH tepung sorgum. Perlakuan terbaik pada penelitian ini didapatkan penggunaan konsentrasi ragi 6% dengan waktu perendaman 18 jam menghasilkan nilai kesukaan warna 4.08; penerimaan warna 3.08; kesukaan aroma 4.00; penerimaan aroma 3.72; nilai tingkat kecerahan (L*) 62.3; kadar air 2%, dan pH 6.70.