Perubahan iklim saat ini sudah terjadi di seluruh negara di belahan bumi ini.
Ya, mengapa tidak? Pada era 90’an hingga 2000’an pada umumnya masyarakat dapat menebak bahwa setiap bulan yang menunjukkan kata (-ber) seperti September, Oktober, November, dan Desember sudah pasti memasuki musim penghujan. Faktanya saat ini cuaca/musim tidak dapat lagi diprediksi seperti di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Tahun 2021 mengalami kemarau yang panjang hingga bulan Februari.
Permasalahan lingkungan khususnya pemanasan global menjadi topik permasalahan yang mencuat akhir-akhir ini. Laporan ke-4 Working Group II – International Panel on Climate Change (IPCC), yang diterbitkan pada Bulan April 2007, membuktikan adanya beberapa climate proof dengan tingkat keyakinan yang tinggi mengenai perubahan temperatur regional yang telah berdampak nyata secara fisik dan biologis bagi perubahan iklim.
Kenaikan temperatur rata-rata sejak 1850- 1899 hingga 2001-2005 adalah 0.76 ‘C dan muka air laut global telah meningkat dengan laju rata-rata 1.8 mm/tahun dalam rentang waktu 40 tahun terakhir (1961-2003). Kenaikan total muka air laut yang berhasil dicatat pada awal abad 20 diperkirakan sebesar 17 cm. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa kegiatan sosial-ekonomi manusia (antropogenik) memberikan kontribusi yang besar dalam peningkatan temperatur tersebut, sehingga tanpa upaya yang terstruktur dan berkesinambungan, dampak yang akan terjadi pada masa mendatang akan menjadi sangat serius.
Perubahan iklim ataupun pemanasan global ini disebabkan oleh beberapa hal. Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Kerangka Kerja Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) yang telah disahkan pada Tanggal 1 Agustus 1994, mendefinisikan Perubahan iklim sebagai perubahan iklim yang disebabkan baik secara langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga mengubah komposisi dari atmosfer global dan variabilitas iklim alami pada perioda waktu yang dapat diperbandingkan. Komposisi atmosfer global yang dimaksud adalah komposisi material atmosfer bumi berupa Gas Rumah Kaca (GRK) yang di antaranya, terdiri dari:
- Uap air (H2O), 36-70 persen
- Karbon dioksida (CO2), 9-26 persen
- Methana (CH4), 4-9 persen
- Ozon (O3), 3-7 persen
- Nitrous Oxide (N2O)
- Klorofluorokarbon (CFC) dan Hydrofluorocarbon (HFC)
Pada kondisi alami GRK dibutuhkan untuk mempertahankan suhu Bumi agar tetap hangat, sehingga pada saat malam hari perubahan suhu tidak terjadi secara signifikan di bumi. Namun, faktanya saat ini keberadaan GRK di atmosfer sangat mengkhawatirkan seperti kandungan gas CO2 yang terus meningkat di atmosfer akibat dari adanya aktivitas pembakaran lahan/hutan, asap kendaraan bermotor, industri, dan lain sebagainya. CO2 merupakan bahan baku yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis, karena tumbuhan akan mengubah CO2 menjadi oksigen (O2) yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia.
Maraknya pembukaan lahan hutan menjadi alih fungsi kawasan permukiman, pertanian, industri membuat penyerapan CO2 di bumi menjadi berkurang. Padahal hutan adalah penyerap karbon dioksida bumi. Dilansir dari International Union for Conservation of Nature, sekitar 2,6 miliar ton karbon dioksida (sepertiga dari emisi CO2 oleh bahan bakar fosil) diserap oleh hutan setiap tahunnya. Artinya, berkurangnya jumlah hutan akan membuat kadar karbon dioksida di atmosfer terus bertambah sehingga menyebabkan pemanasan global.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang semakin minim menyebabkan GRK terus meningkat sehingga perubahan iklim tidak dapat lagi dihindari. Oleh sebab itu Green Building melalui penerapan green wall (tanaman vertikal) merupakan salah satu alternatif pencegahan perubahan iklim karena setiap tahunnya ratusan hingga ribuan dibangunnya permukiman di setiap wilayah.
Sejak Tahun 2015 pemerintah mencanangkan Program Sejuta Rumah (PSR). Hasilnya sangat signifikan, yakni berhasil membangun 4.800.170 unit rumah layak huni (periode 2015-2019). Mengacu keberhasilan tersebut, program yang dimaksudkan untuk mengurangi backlog rumah dari sisi kepemilikan maupun hunian itu dilanjutkan untuk periode 2020-2024. Semakin banyaknya perumahan/permukiman yang terbangun maka membuat RTH semakin berkurang. Hal ini akan membuat bumi semakin dalam keadaan darurat akibat GRK yang terus meningkat dan tidak adanya lagi penyerap senyawa CO2.
Konsep green wall merupakan terobosan baru yang dapat dilakukan oleh seluruh masyarakat khususnya masyarakat yang bertempat tinggal di permukiman yang memiliki lahan terbatas. Konsep penerapan green wall pada setiap permukiman ini dapat menjadi upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia bahkan di dunia. Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. Mitigasi Perubahan Iklim adalah usaha pengendalian untuk mengurangi risiko akibat perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi atau meningkatkan penyerapan GRK dan penyimpanan/penguatan cadangan karbon dari berbagai sumber emisi.
Selain untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim, green wall juga dapat dimanfaatkan oleh kaum ibu rumah tangga untuk menanam sayuran maupun bunga. Diharapkan melalui penerapan green wall ini mampu menghemat budget (uang belanja) jika dapat terus dikembangkan mampu menjadi ladang bisnis rumahan baru bagi kaum ibu-ibu rumah tangga.
Oleh: Yuni Yolanda, S.Pi., M.Si.
(Dosen Teknik Lingkungan UTS)