Oleh: Pratiwi Sakti, Dosen Bahasa Inggris, di Prodi Psikologi, Universitas Teknologi Sumbawa.
Why don’t you propose for smart village?
Pertanyaan ini membuat saya speechless di akhir tahun 2018 ketika saya mengusulkan untuk proposal dalam kegiatan tahunan SMART CITY-UI November 2018. Pertanyaan yang dilontarkan Rebecca melalui Whatsapp ini bukan tanpa alasan. Di awal tahun 2018, tepatnya Februari, Kami berkesempatan untuk bertemu, dipertemukan dalam satu proyek penelitian S2 Rebecca. Rebecca dari Swedia, bertemu Tiwi dari Bima di Batu Dulang Sumbawa. Rebecca meneliti, saya juru bahasa dalam penelitian dia. Tidak lupa ada orang hebat yang mempertemukan kami, penggiat literasi sekaligus orang berjasa dalam pembangunan eco-wisata Desa Batu Dulang: Mr and Mrs Julmansyah: Pak Julmansyah dan Ibu Yossi Dwi Erliana. Sekarang Pak Julmasyah menjadi Kepada Dinas Perpustakaan NTB dan Ibu Yossi sempat Menjadi Wakil Rektor II bidang keuangan UTS. Hasil penelitian Rebecca dapat di akses secara gratis di google scholar; A hard nut to crack; Uppsalla university, Sweden. sampul penelitian Rebecca adalah salah seorang warga desa Batu Dulang sebagai bentuk rasa terima kasih Rebecca kepada semua warga Batu Dulang yang telah menerimanya dengan sangat ramah dan baik hati.
Ya, mengapa saya tidak membuat topic bertema smart village? Padahal Indonesia lebih dari 70 % total populasi adalah petani yang tinggal di desa? Jawaban saya simply karena topic yang sedang dibahas dalam workshop kepenulisan academic writing adalah SMART-CITY. Kemudian gagasan topic yang diutarakan Rebecca saya coba sharing dengan salah seorang teman yang capable dan mampu berargumen di depan mentor nanti: Ibu Ivon Arisanti, saya? Ya! Stick dengan topic awal saya; Pemetaan bahasa menggunakan teknologi GIS, Geographic informational system. Yakni sistem informasi geografis digunakan untuk melakukan pemetaan lema/diksi/kosakata maupun bunyi pada peta wilayah pedesaan maupun perkotaan. Academic Writing yang didanai oleh pemerintah Amerika bekerjasama dengan Fakultas Teknik UI Depok akhirnya berjalan lancar dan banyak insight yang saya dapatkan secara Pribadi maupun keilmuan, bertemu dengan mentor berkebangsaan India dan berkewarganegaraan Amerika adalah salah satunya.
Banyak nama makanan yang dia tanyakan ke saya secara pribadi dan apperantly saya kembali menjadi juru bahasa dadakan bagi teman-teman saya yang (mohon maaf) tidak terlalu fasih dalam berbahasa Inggris, tentu kebahagiaan saya berlipat ganda.
Ada apa dengan desa? Indonesia, Negara Agraria dengan lebih dari 17.000 pulau. Mengapa sangat penting memperhatikan pendidikan di desa?! Ya sekali lagi tanda seru. Saya pernah membaca opini yang mengatakan bahwa, indikator kemiskinan sebuah Negara adalah banyak urbanisasi. Ketika kemiskinan dapat dipangkas maka tingkat urbanisasi akan berkurang dan areal pemukiman kumuh di kota dapat dikurangi secara drastis. Salah satu cara memangkas kemiskinan adalah dengan memperbaiki kualitas kemiskinan di akar daerah asal para urban berasal: desa.
Beberapa alasan urbanisasi dilakukan, yakni untuk mendapatkan pendidikan dan kualitas hidup yang lebih baik. Layanan kesehatan dan pendidikan yang memadai tidak dapat diakses secara merata di pedesaan, katakanlah hanyalah orang-orang yang menengah ke atas atau yang sangat kaya yang mampu mengakses secara maksimal. Berbeda dengan di kota, setiap orang kaya maupun miskin dapat mengakses menggunakan kartu BPJS atau tanpa BPJS.
Alasan lain, perputaran uang lebih cepat terjadi di kota dibanding pedesaan. Layanan pendidikan umum maupun privat menjamur di kota. Bahkan sekolah-sekolah swasta lebih favorit dan menjadi primadona di kota dibanding di desa. Tentu, guru dibayar lebih layak dibanding di desa.
Ketika berdiskusi dan merancang model penelitian di acara academic writing, Smart City. Bu Ivon bertanya: eh saya tertarik dengan Amerika karena di Amerika itu, Upah minimal Regional per state (di Indonesia per-Provinsi) hampir sama. Oh ya? Aku merespon. Lets take a look the data bu.
Kembali ke laptop!
Apakah guru-guru di desa tidak berkompeten? Tentu tidak. Banyak guru di desa yang sangat berkompeten, mereka memilih tinggal di desa karena tidak ada yang bisa membersamai ibu atau orang tua mereka yang telah renta. Apakah faskes tidak ada di desa? Ada namun tidak maksimal. Bagaimana cara mengetahuinya? Tentu dari wawancara random kepada tenaga kesehatan yang memilih berkarir di kota. Baik nakes maupun guru kebanyakan adalah tenaga kontrak yang bekerja dibawah Surat Keputusan dari Pemda, Dinkes, dan Dikbud. Karena focus kita merupakan pegawai honorer pendidikan dalam hal ini guru, maka kita akan focus membahas guru. Guru di pedesaan merupakan tenaga honorer, adapun PNS mengambil jam ngajar yang lebih sedikit dibanding honorer.
Terlihat tidak adil, honorer bekerja lebih ekstra dengan keterampilan dan pengetahuan yang lebih baik dari PNS, terkadang namun tidak semua kemudian honorer mendapatkan gaji yang tidak layak. Sedangkan PNS guru bekerja dengan jam kerja yang sedikit dibanding honorer serta mendapatkan gaji yang lebih dari cukup dari negara.
Tenaga guru honorer bekerja di siang dan malam untuk mengajar, menyiapkan materi, dan mengoreksi jawaban soal anak-anak sekolah dan terkadang diupah dengan gaji yang lebih besar dari upah tukang parkir. Whoa,,saya tidak sedang berdemo. Saya hanya menyulut rasa keingintahuan bapak ibu sekalian pembaca yang budiman.
Adapun anak-anak didik selain dibebankan dengan kondisi fasilitas yang kurang memadai dan SDM dalam keadaan guru honorer yang telah kewalahan dan memiliki beban berupa upah yang tidak layak. Anak didik juga dibebankan dengan kerja di ladang dan di sawah. Mengapa mereka harus bekerja di ladang dan sawah padahal mereka tidak dibebankan untuk membayar biaya sekolah hingga SMP? Karena jumlah usia produktif semakin menurun pertahun di desa. Kaum muda merantau dan kaum tua semakin bertambah dan anak-anak semakin banyak, ketika anak-anak ini berusia 18-30 tahun mereka merantau ke kota untuk mencari universitas yang lebih baik dan pekerjaan yang lebih mampu menampung keahlian mereka.
Sehingga anak-anak remaja usia sekolah dimaksimalkan untuk membantu orang tua di ladang. Bukan hanya remaja bahkan anak-anakpun membantu orang tua di ladang. Adilkah jika anak-anak usia sekolah dicap tidak berkompeten di bangku ujian atau meraih skor tertentu dalam beberapa mata pelajaran sementara mereka harus membantu orang tua di ladang? Jika begini keadaanya tentu harus ada perlakuan khusus bagi mereka, seperti apa yang dilakukan oleh penyedia beasiswa bergengsi dunia; LPDP. Ya beasiswa afirmasi disediakan untuk DAERAH 3T. 3T; terluar, tertinggal, dan terdepan. Perlu ada pengayaan khusus untuk daerah pedesaan, termasuk memberikan insentif tambahan kepada guru-guru untuk mengajar ekstra anak-anak yang ketinggalan mata pelajaran di kelas pada siang hari dan bisa mengganti jam belajar di sore hari atau lain hari untuk mengejar ketertinggalan.
Melirik Pendidikan Desa
Part II, 20.09.2021
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan PISA Programme for international students assesments, sebuah lembaga survey internasional yang mengukur kemampuan membaca, matematika, sians. Berdasarkan data yang disajikan oleh PISA, Indonesia menempati urutan ke enam dari bawah (Peringkat 72 dari 77), Peringkat 6 Terbawah, Indonesia Diminta Tinggalkan Sistem Pendidikan ′Feodalistik′ | INDONESIA: Laporan topik-topik yang menjadi berita utama | DW | 05.12.2019. Dirilis pada Selasa (3/12) di Paris, Indonesia berada di peringkat ke-72 dari 77 negara; dimulai dari yang paling bawah, yakni Filipina, Republik Dominika, Kosova, Libanon, Maroko, Indonesia, Panama, Georgia, dan kesembilan dari bawah adalah Negara Kazakstan.
Sebuah hasil temuan yang mencengkan. Tidakkah kita semua terpanggil untuk memperbaiki pendidikan kita? Negara dengan jumlah populasi penduduk terpadat ketiga dunia dengan populasi muslim terbanyak di dunia.
Tidakkah kita saling bantu memperbaiki kualitas pendidikan kita? investisa dalam pendidikan membutuhkan waktu yang lama dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Untuk menghasilkan satu sarjana saja dibutuhkan waktu empat tahun, untuk menghasilkan satu dokter dibutuhkan waktu minimal 5,5 tahun. 3,5 tahun pendidikan dokter dan 2 tahun cooperate assistance, co-ass. Untuk mengasilkan satu orang perwira polisi dibutuhkan waktu empat tahun dengan menempuh jalur pendidikan S.I.K. sehingga bisa ditempatkan untuk menjadi Kepala Polisi Sektor di satu kecamatan. Melihat kenyataan ini perlu ada crowded funding (biaya pendanaan bersama) jika di tengah jalan dalam proses belajar mengajar di Universitas swasta maupun negeri untuk membantu mahasiswa yang mengalami kesulitan biaya tanpa memandang bulu apakah Indeks Prestasi Kumulatif mereka semakin turun atau tidak. Mengingat ketersediaan biaya atau tidak sangat mempengaruhi mental mahasiswa.
Oke, kembali pada poin yang kita bahas adalah pendidikan di Desa. Apa keterkaitan antara membahas kualitas pendidikan di desa dan mahasiswa? Nadiem Anwar Makarim, Pak Menteri yang biasa disapa Mas Mentri mengemukakan dalam Live Channel Youtube Kemendikbudristek; pendidikan merupakan tanggungjawab bersama semua lapisan masyarakat. Implikasi dari pernyataan ini dapat dilihat dalam kebijakan beliau menerapkan kampus merdeka. Salah satu reformasi beliau yakni, pertama silabus yang hanya berisi satu lembar. Ini tentu berbeda dengan silabus yang biasa digunakan oleh para guru sekolah yang berisi puluhan halaman. Kedua, penerapan KKN Merdeka, yakni KKN yang membebaskan mahasiswa kota besar untuk melakukan KKN di daerah 3T. Ketiga, kebijakan kampus mengajar bagi seluruh S1 baik jurusan Pendidikan maupun jurusan STEM Saintek Teknik Ekonomi Manajemen dan Sosial Humaniora. Keempat, kebijakan tiga semester perkuliahan di luar jurusan, dengan rincian: satu semester dapat mengambil mata kuliah lintas jurusan dalam satu fakultas atau lintas fakultas maupun universitas namun dengan jurusan yang sama.
Penulis menitikberatkan pembahasan pada program Kampus mengajar, telah di-launching oleh Kemendikbudristek beberapa bulan lalu dan beberapa universitas telah melaksanakan program tersebut secara bertahap. Salah satu universitas yang menjalankan Program ini adalah Universitas Teknologi Sumbawa. Tepatnya pada bulan September ini. Mahasiswa semester enam dipersilahkan mengambil program kampus mengajar untuk ditransfer menjadi program KKN. Setelah di tahun sebelumnya 2020, di bulan September mahasiswa semester lima diberangkatkan untuk menjalankan program KKN Merdeka dengan protocol kesehatan yang ketat selama empat bulan di desa. Kemudian dalam proses berjalannya KKN Merdeka, program KKN Merdeka dipangkas menjadi dua bulan.
Keuntungan yang didapatkan oleh pendidikan desa dengan diterapkannya KKN Merdeka adalah anak SD mendapatkan pengajaran dari para mahasiswa yang masih semangat belajar dan selalu kreatif menerapkan metode belajar terkini. Tentu ada perubahan pola interaksi antara siswa SD dan SMP terhadap guru karena kali ini icon guru digunakan oleh mahasiswa yang seringkali memperlakukan siswa sebagai teman dibanding anak didik. Hal ini sangat berbeda jika guru selalu menangani anak-anak SD.
Jikapun anak SD tidak berkesempatan mendapatkan pelajaran dari mahasiswa atau sebaliknya, mahasiswa tidak berkesampatan mengajar dikarenakan aturan tertentu yang diterapkan sekolah. Mahasiswa dapat memberikan kelas tambahan kepada anak SD, SMP setiap tiga puluh menit sebelum pulang untuk memberikan perspektif yang berbeda kepada anak-anak didik.
Penerapan kampus merdeka ini sejalan dengan visi misi beberapa kampus, salah satunya Universitas Teknologi Sumbawa. Visi misi UTS yakni membumi dan mendunia. Pun sinkron dengan keadaan yang dihadapi oleh masyarakat desa, yakni penerapan pendidikan online. Walaupun ada beberapa SD di pedesaan yang tidak menerapkan sekolah daring sepenuhnya, namun pandemi telah merubah pola interaksi kegiatan belajar dan mengajar di dalam kelas menjadi lebih interaktif atau terkadang sangat membosankan jika tidak dikelola dengan baik. Dahulu guru SD atau SMP terbiasa menjelaskan di papan tulis, sekarang guru SD dan SMP dihadapkan dengan keadaan terkadang harus melaksanakan kelas daring. Ketika terjadi kelas daring observasi langsung tidak bisa dijalankan dengan maksimal karena syarat mutlak observasi adalah face to face interaction yakni interaksi langsung.
Pada akhirnya, untuk mengatasi tantangan pendidikan desa dibutuhkan kerjasama bahu membahu dari seua pihak, meliputi orang tua siswa, guru di sekolah, komunitas di lingkungan seperti Remaja Masjid, atau pendidikan rohani pada masing-masing agama, instansi swasta maupun negeri dan semua pihak.