leh: Fahri Hamdani, S.Pd., M.Pd.
Herfandi, A.Md., S.Kom., M.Kom
Dosen Prodi Informatika,UTS
a. Konsep revolusi mental pendidikan karakter
Revolusi Mental merupakan sebuah gerakan membangun karakter bangsa yang mengubah cara pikir menjadi lebih baik, mandiri, berkarakter dan nasionalis. Dalam gagasannya, Presiden Joko Widodo menegaskan Revolusi Mental sebagai gerakan yang menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan ( nation building ). Gerakan ini disebut lebih manusiawi, sesuai dengan budaya nusantara, yaitu bersahaja dan berkesinambungan. Revolusi Mental menjadi sesuatu hal yang sangat penting pada saat ini karena ada keyakinan bahwa pembangunan nasional tidak akan pernah sukses manakala hanya mengandalkan perombakan kelembagaan atau institusional, sementara mental manusianya tidak pernah mengalami perombakan. Karenanya, revolusi mental mengandaikan perubahan mindset, pola pikir bahkan paradigma yang selanjutnya mengarah pada perubahan berbagai aspek dalam rangka membangun bangsa ini ke depan.
Pembangunan manusia melingkupi tiga dimensi, yaitu; sehat, cerdas, dan berkepribadian. Sehat berarti dimulai dengan fisik kita yang senantiasa kondusif dan bugar. Cerdas berarti mengarah pada otak kita yang selalu berpikir dan diasah sehingga memiliki kemampuan analisis dan berkualitas. Sedangkan berkepribadian adalah kaitannya dengan kehendak yang berbudi pekerti luhur. Perlunya revolusi mental adalah karena penyakit seperti emosi/mental/jiwa akan berdampak pada individu berupa malasnya seseorang dan tidak mempunyai karakter. Kemudian dampaknya akan menular kepada masyarakat yang ditandai dengan gangguan ketertiban, keamanan, kenyamanan, kecemburuan sosial, dan ketimpangan sosial. Lebih jauh lagi, akan berdampak negatif pada bangsa dan negara. Bangsa kita akan lemah dan menjadi tidak bermartabat. Kemudian produktivitas dan daya saing kita menjadi rendah.
Pendidikan nasional Indonesia kita cenderung hanya menonjolkan pembentukan kecerdasan berpikir dan menepikan penempatan kecerdasan rasa, kecerdasan budi, bahkan kecerdasan batin dan lahirlah manusia-manusia yang berotak pintar, manusia yang berprestasi secara kuantitatif akademik, tetapi tidak berkecerdasan budi. Dalam dunia pendidikan, terdapat tiga ranah yang harus dikuasai oleh mahasiswa, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ranah kognitif berorientasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi, ranah afektif berkaitan dengan sikap ( attitude ), moralitas, spirit, dan karakter, sedangkan ranah psikomotorik berkaitan dengan keterampilan bersifat prosedural dan cenderung mekanis. Dalam realitas pembelajaran di kampus, usaha untuk menyeimbangkan ketiga ranah tersebut memang selalu diupayakan, tetapi pada kenyataannya yang dominan adalah ranah kognitif, kemudian psikmotorik. Akibatnya adalah peserta didik kaya akan kemampuan bersifat hard skill, tetapi miskin soft skill karena ranah afektif terabaikan. Gejala ini tampak pada output pendidikan yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, pintar, juara kelas, tetapi miskin kemampuan membangun relasi, kurang mampu berinteraksi dan bekerjasama, cenderung egois serta menjadi pribadi yang tertutup, Karena itu pendidikan selama ini dinilai gagal meletakan nilai-nilai moral dan etika dalam mengembangkan kemampuan mental yang kuat sebagai dasar pijakan bagi peserta didik dalam menjalani kehidupan. Padahal untuk membangun kualitas sumberdaya manusia melalui pendidikan harus dimulai dari perubahan perilaku yang menjadi pusat ( episentrum )revolusi mental. Proses pembelajaran di kampus tidak sebatas mengungkapkan hasil belajar mahasiswa secara akademik, tetapi yang lebih utama adalah aspek perkembangan perilaku dalam lingkungan kampus. Ini berarti bahwa tanggung jawab mahasiswa tidak hanya terbatas di kampus saja, melainkan sudah melibatkan partisipasi publik. Wujud pendidikan karakter adalah membentuk etos bukanlah pembicaraan teori-teori etika yang abstrak, tetapi bagaimana membuat teori-teori tersebut mempengaruhi tindakan siswa sehari-hari. Pendidikan diarahkan untuk menuju transformasi pada tataran kebiasaan dan budaya. Dimana pola interaksi pembelajaran senantiasa mengajarkan keutamaan (virtue) moral dan etika ke dalam bentuk pengetahuan yang lebih praktis, sehingga mahasiswa mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan sosial masa kini. Inti revolusi mental pendidikan karakter dikampus, diharapkan dapat melahirkan nilai- nilai kejujuran, keadilan, demokratis, kebersamaan, dan mengembangkan kesadaran sikap saling menghargai perbedaan dengan semangat kebhinekaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Pendidikan Karakter dalam Sistem digital
Pendidikan karakter merupakan usaha sadar yang terencana dan terarah melalui lingkungan pembelajaran untuk tumbuh dan berkembangnya seluruh potensi manusia yang memiliki watak berkepribadian baik, bermoral-berakhlak, dan berefek positif konstruktif pada alam dan masyarakat. pendidikan karakter sendiri dapat dipahami dari tiap-tiap katanya secara terpisah. Pendidikan merupakan proses pembelajaran kebiasaan, keterampilan, dan pengetahuan manusia yang diteruskan dari generasi sebelumnya kepada generasi berikutnya. Sementara itu, karakter merupakan akumulasi watak, sifat, dan kepribadian individu yang mengarah pada keyakinan dan kebiasaannya dalam kehidupan sehari-hari. Istilah digital telah menjadi bagian dari perbendaharaan kata kita sehari-hari. Sistem digital telah menjadi sedemikian luas hampir semua bidang kehidupan, dari komputer, piranti otomatis, robot, ilmu dan teknologi kedokteran sampai kepada transportasi, hiburan, penjelajah ruang angkasa dan banyak lagi. Pada era digital ini pemanfaatan teknologi secara baik menjadikan kunci utama dalam nilai karakter peserta didik. Dan yang menjadi turunnya moral, ilmu pengetahuan yang kurang, bahkan karakter pada peserta didik adalah karena penyimpangan penggunaan teknologi dan internet. Pada akhirnya pengawasan oleh dosen, guru maupun orang tua yang menjadi peran utama dalam mendidik karakter anak di indonesia. Bukan lagi tentang pemberian pelajaran kepada peserta didik,akan tetapi pengawasan juga perlu diperhatikan pada anak di era digital ini.
Kenyataan yang kontra produktif itu memang secara akal sehat (common sence) mungkin sulit diterima karena Indonesia selain sebagai bangsa yang beragama, juga terkenal sangat kuat memiliki keluhuran nilai-nilai budaya Pancasila yang selama ini dijadikan falsafah hidup bangsa dengan somboyan Bhinneka Tunggal Ika, terbukti gagal memperkuat kohesi sosial untuk menjamin ketentraman dan kedamaian hidup bagi masyaraakat. Nilai-nilai Pancasila yang selama ini berfungsi sebagai ideologi negara dan alat pemersatu bangsa justru benar-benar teruji kesaktiannya. Apakah masih mampu bertahan di tengah pertarungan ideologi global dan menjadi sumber ajaran moral dalam mencerdaskan bangsa. Sementara dunia pendidikan nasional,dalam 10 tahun terakhir semakin kehilangan orientasi karena sudah terlalu lama membangun kecerdasan inteligensi dan mengabaikan potensi kecerdasan lain yang justru jauh lebih penting daripada sekedar menciptakan manusia pintar.
c. Penutup/Simpulan
Di tengah krisis karakter yang menimpa bangsa saat ini, revolusi mental memang adalah sebuah hal penting untuk diupayakan dan dikerjakan. Namun kerja itu bukan sehari dua hari jadi. Revolusi mental hanya mungkin terwujud jika ada komitmen bersama memperbaiki keadaan pendidikan nasional pada hari ini. Pendidikan nasional harus tetap konsisten dalam kerjanya memperbaiki karakter bangsa. Masa depan bangsa ini amat bergantung dari konsistensi pendidikan karakter yang sedang dijalankan bangsa ini. kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya. Gagal atau berhasilnya pendidikan karakter anak dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya naluri, kebiasaan, hereditas, dan lingkungan. Di sisi lain, Penguatan Pendidikan Karakter melibatkan keluarga, kampus, sekolah dan komunitas. Maka, kampus, sekolah sebagai bagian dari lingkungan memiliki peran penting dalam pendidikan karakter anak.di era digital.
Harapan penulis, tentang revolusi mental atau pendidikan karakter tidak lagi berakhir sebatas retorika. Untuk itu, komitmen bersama para dosen, guru dalam menghadirkan pendidikan karakter di kelas dalam proses pembelajaran amat diperlukan. Kita tentu tidak menghendaki masa depan Indonesia masih diwarnai oleh berbagai bentuk krisis karakter seperti maraknya tindak kekerasan. Pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius hemat penulis menjadi sangat mendesak untuk diterapkan. Agar pendidikan karakter (Revolusi Mental) ini berhasil, maka dibutuhkan komitmen para dosen dan pengajar di setiap lembaga pendidikan untuk mensukseskan program tersebut. Pada akhirnya, marilah kita sukseskan program mulia yang telah dicanangkan oleh Para pemimpin bangsa saat ini mulai dari sekarang dan setrusnya.