Oleh: JUNAIDIN, S.Pd.,M.Psi
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Teknologi Sumbawa
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba merupakan masalah global yang sudah menjadi ancaman serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat ini, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia telah menyebar keseluruh wilayah Indonesia dan termasuk di Wilayah Nusa Tenggara Barat. Perkembangan pengguna narkoba di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh BNN dan UI, pada tahun 2008 prevalensi penyalahguna sebesar 1,99 % dari penduduk Indonesia berumur 10-59 tahun, sedangkan pada tahun 2010 prevalensi tersebut di proyeksikan naik menjadi 2,21 % dan tahun 2015 naik menjadi 2,8 % atau sekitar 5,1 –5,6, juta orang, kondisi yang sangat memprihatinkan dari semakin tingginya penyalahgunaan narkoba di Indonesia, yakni dari total pengguna narkoba dan obat-obatan terlarang sebagian di antaranya adalah kaum muda dengan usia 17-35 tahun di mana lebih 900.000 di antaranya merupakan pelajar dan mahasiswa. Hal tersebut sangat penting untuk di ketahui oleh seluruh elemen atau unsur yang berada di wilaya Kota maupun Kabupten di NTB umumnya.
Jumlah pengguna narkoba saat ini di wilayah Kota Maupun Kabupaten di NTB sudah mencapai tahap menghawatirkan. Hal ini dapat di lihat pada (https://ntb.bnn.go.id/). Dalam perspektif psikologi, bahwa pengguna narkoba memiliki dampak secara psikologis, beberapa hasil penelitian yang di lakukan di beberapa negara berkembang dan negara maju, pertama penelitian yang dilakukan oleh Liu (2013) dengan judul The Characteristics of Relapsed Drug Users in Contemporary Urban China dengan hasilnya bahwa gangguan psikologis pengguna narkoba menunjukkan tingkat yang lebih tinggi terhadap gangguan mental (psikologis) seperti merasa sedih, tidak empati dan depresi. Kedua penelitian yang dilakukan oleh Upadhyay (2015) dengan judul drug user behavior and social relationships in Kathandu, Nepal, menunjukkan bahwa penggunaan narkoba telah menyebabkan merusak hubungan sosial dan isolasi, juga hilangnya individualitas, Negara dan masyarakat, kerusuhan hubungan sosial, perilaku abnormal, gangguan terhadap keluarga, pemborosan uang, mental dan masalah kesehatan fisik dan psikis (psikologis). Adiksi atau ketergantungan narkoba adalah pola perilaku kronis yang terus-menerus ditampilkan dan dirasakan oleh pecandu. Perilaku ini sulit atau tidak mungkin dihentikan walaupun pecandu menyadari akibat negatifnya. Berbagai model teoritis yang mencoba menjelaskan latar belakang perilaku adiksi yang kompleks dan paradoksikal telah diajukan. Dalam upaya menangani adiksi terhadap narkoba, Thoms (1991) mengemukakan tiga pandangan yang dapat mempengaruhi pendekatan dalam treatment.
Pandangan yang pertama, addiction as sin, perilaku adiksi di pandang sebagai pelanggaran terhadap kode moral atau ajaran agama. Berdasarkan pandangan ini, adiksi merupakan pilihan individu yang bersangkutan. Oleh karena itu penanganan yang paling tepat adalah dengan merehabilitas individu yang bersangkutan. Pandangan yang kedua, addiction as a disease, yang memandang adiksi sebagai penyakit sebagaimana halnya penyakit fisik dan mental (psikologis) yang lain. Pecandu disini dianggap sebagai korban dari penyakitnya sehingga perlu diberikan pertolongan berupa pengobatan atau perawatan untuk mengatasi adiksinya. Pandangan yang ketiga adalah menganggap adiksi sebagai perilaku maladaptive (addiction as maladaptive behavior) yang merupakan hasil dari proses belajar. Oleh karena itu, cara penanganan yang paling tepat juga harus menggunakan prinsip-prinsip belajar.
Pandangan pertama yang dikenal sebagai Model Religi menyatakan bahwa adiksi disebabkan oleh kurangnya pemahaman seseorang mengenai nilai-nilai ajaran agama sehingga keimanannya rendah. Model Religi sama dengan Model Moral, yaitu sebuah pemikiran yang mengajukan degradasi moral sebagai penyebab adiksi. Pandangan disesease model berasal dari pendekatan medis yang diajukan berdasarkan bukti-bukti ilmiah mengenai kondisi genetik dan biokimia otak yang melatarbelakangi terjadinya adiksi pada seseorang.
Berbeda dengan pandangan model penyakit yang melihat model adiksi sebagai gangguan biokimia otak, perspektif psikologi menjelaskan adiksi sebagai perilaku yang dipelajari melalui sistem penguatan positif dan negatif. Selain itu, dinamika terjadinya adiksi juga banyak dijabarkan melalui pendekatan psikoanalisis. Asumsi dari teori social learning adalah jika adiksi merupakan perilaku yang dipelajari atau hasil dari proses belajar terhadap lingkungan, maka adiksi juga bisa di ubah dengan prinsip belajar yang sama ketika perilaku tersebut dipelajari. Penjelasan psikoanalitik klasik mengatakan bahwa adiksi merupakan upaya individu untuk mengatasi kondisi emosi internal, sedangkan perspektif psikoanalitik kontenporer memahami adiksi sebagai kegagalan individu mengorganisasikan ego dan sense of self sehingga berhadapan dengan tuntutan lingkungan. Perkembangan mutakhir mengelompokan teori-teori adiksi dalam empat paradigma, yaitu Model Penyakit (Disease model), Model Psikoanalitik, Model Social Learning, dan Model Sistem Keluarga. Selain itu masih terdapat pendekatan lain yang merupakan penggabungan dari keempat model tersebut, yaitu yang memandang adiksi sebagai gangguan bio-psiko-sosial-spiritual. Model ini menjelaskan kompleksitas pengaruh faktor biologis yang merupakan faktor bawaan dan faktor psikologis, sosiologis, budaya, serta spiritual dan faktor lingkungan.
SAY NO TO DRUGS
“SAATNYA MERDEKA DARI NARKOBA”